Koordinator Masyarakat Tranparansi Aceh (MaTA) Alfian, foto: (kabar aktual) |
Lhokseumawe | Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, meminta Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Lhokseumawe segera mengambil langkah tegas terkait tata kelola RS Arun yang diduga terlibat cawe-cawe oleh oknum Pejabat Pemko Lhokseumawe
"Jika tidak, patut diduga ada Oknum DPRK Lhokseumawe juga yang ikut menikmati Bagi-bagi keuntungan dari RS Arun Lhokseumawe."
Alfian mengungkapkan, status kepemilikan RS Arun masih menjadi misteri, terutama karena adanya dua pejabat Lhokseumawe yang tercatat sebagai pemilik saham pribadi.
Menurut Alfian, ketidakjelasan status kepemilikan ini semakin mengkhawatirkan, mengingat tidak ada transparansi terkait pendapatan daerah dari RS Arun.
Kondisi ini diperburuk oleh dugaan tindak pidana korupsi yang muncul satu tahun lalu. Alfian mencatat, pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan untuk peserta BPJS diduga dikendalikan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kepentingan pribadi.
“Ini adalah peluang bagi oknum pejabat Pemko Lhokseumawe untuk meraih keuntungan pribadi,” tegas Alfian.
Alfian menekankan perlunya perbaikan tata kelola RS Arun, tidak hanya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, tetapi juga agar rumah sakit ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lhokseumawe.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah audit investigasi menyeluruh terhadap RS Arun, yang mencakup administrasi, keuangan, dan pengadaan barang dan jasa.
"DPRK sebagai pengawas harus berani melakukan audit investigasi terkait tata kelola RS Arun," tambahnya.
Alfian juga mendesak DPRK yang baru dilantik untuk segera melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh dalam proses audit tersebut.
Ia bahkan memperingatkan bahwa jika DPRK tidak segera bertindak, publik dapat menduga adanya keterlibatan oknum DPRK dalam permasalahan ini.
Audit tersebut, menurut Alfian, merupakan langkah awal untuk mengungkap potensi korupsi di RS Arun. Jika ditemukan indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum harus segera masuk dan bertindak.
Sementara itu, jika hanya ditemukan masalah administrasi, perbaikan harus segera dilakukan agar tata kelola rumah sakit menjadi lebih transparan dan akuntabel.
Kepentingan Politik dan Bisnis di Balik RS Arun
Sejumlah persoalan krusial dalam pengelolaan RS Arun kembali mencuat, dengan banyak pertanyaan yang mengarah pada dugaan adanya kepentingan politik dan bisnis di balik rumah sakit tersebut.
Alfian secara tegas mempertanyakan isu kepemilikan saham oleh pejabat pemerintah dan status RS Arun Medika, serta keterkaitannya dengan PT Pembangunan Lhokseumawe (PTPL).
Menurut Alfian, adanya pejabat pemerintah yang memiliki saham, meskipun porsinya kecil, menimbulkan konflik kepentingan yang serius.
"Bagaimana seorang pejabat bisa tetap independen jika ia memiliki saham, sekecil apapun itu?" tanyanya, menyoroti potensi adanya permainan politik dalam pengelolaan RS Arun.
Alfian juga mengkritisi jabatan Komisaris Utama RS Arun Medika yang dipegang oleh pejabat Inspektorat Lhokseumawe. Ia mempertanyakan legalitas hal ini dan apakah ada izin dari Penjabat (PJ) Walikota.
Hingga saat ini, menurut Alfian, hasil audit eksternal yang telah dilakukan juga belum transparan, khususnya terkait temuan pajak, pendapatan, dan penyetoran ke kas negara.
Dugaan Pengaruh Pejabat dan Konflik Kepentingan
Alfian juga menyoroti dugaan keterlibatan Sekretaris Daerah (Sekda) dalam pembagian keuntungan dari saham yang dimilikinya di RS Arun. Meskipun saham Sekda hanya setengah dari 5%, pengaruhnya dinilai besar, terutama dalam pengadaan barang dan obat-obatan.
“Walaupun jumlah sahamnya kecil, posisi Sekda bisa mengendalikan pemegang saham besar seperti PTPL,” tambahnya.
Alfian juga mempertanyakan alasan di balik pemberhentian seluruh Direktur PTPL oleh Walikota.
"Apakah ada indikasi penyalahgunaan keuangan yang menjadi alasan pemberhentian tersebut?" tanya Alfian.
Menurutnya, pengelolaan RS Arun yang saat ini berbadan hukum PT justru menimbulkan kebingungan apakah rumah sakit ini patuh pada Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) atau peraturan daerah.
Sorotan lainnya adalah kewajiban RS Arun untuk menyetor Rp 2 miliar setiap bulan ke Pemkot Lhokseumawe sebagai sewa aset.
“Apakah ini sesuai dengan regulasi? RS yang seharusnya berorientasi pada pelayanan justru berubah menjadi orientasi bisnis,” kritik Alfian.
MaTA juga mempertanyakan keterlibatan Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dalam pengelolaan aset RS Arun, serta dasar regulasi yang mengatur penyetoran tersebut.
Menurut Alfian, setoran ini seharusnya melalui PTPL sebagai perusahaan BUMD yang bertanggung jawab.
Desakan Transparansi dan Akuntabilitas
Dengan semakin banyaknya perhatian publik terhadap RS Arun, MaTA mendesak agar Pemkot Lhokseumawe segera melakukan audit menyeluruh dan transparan terhadap setiap aspek pengelolaan rumah sakit ini.
Hasil audit harus diumumkan secara terbuka agar segala potensi penyimpangan dapat segera diusut tuntas.
Langkah-langkah tersebut diharapkan mampu menjawab berbagai pertanyaan publik terkait status hukum RS Arun dan hubungannya dengan RS Arun Medika serta PTPL.
Yang lebih penting, hal ini juga harus memastikan bahwa pengelolaan rumah sakit berjalan sesuai prinsip transparansi, akuntabilitas, dan bebas dari intervensi politik.
Repost/Sumber: Berita Merdeka